Apa
yang terlintas di benak anda ketika mendengar kata Utang?
Kecenderungan
orang akan berpikir parsial dengan terarah ke negatif karena mengaitkan ketidakmampuan ekonomi,
kekurangan, dan minta ke orang atau pihak lain. Bahkan akhir-akhir ini, berita
tentang semakin membengkaknya utang negara membuat rakyat khawatir dan resah. Banyak
pihak yang mengkhawatirkan kondisi ini akan semakin bertambah parah dan takut
jika pemerintah sampai gagal membayarnya sehingga membuat utang Indonesia
menumpuk. Entah kenapa, pandangan itu sangat lumrah mengingat minimnya
pemahaman masyarakat terkait pengelolaan utang negara, rasionya seperti apa,
dan buat apa utangnya, kenapa harus berutang. Atas dasar itulah, diperlukan
pemahaman yang mumpuni terkait pengelolaan rasio utang yang akan ditujukan
untuk belanja produktif, yang akan dikupas tuntas di artikel ini.
Mari
kita sederhanakan pemahaman dengan menarik ke kehidupan individu. Di dalam
kehidupan sehari-hari pun, ketika ada kebutuhan prioritas dan mendesak, maka
demi kesejahteraan dan demi keberlangsungan roda kehidupan, rumah tangga atau
bisnis, orang akan berutang apabila tidak terdapat alokasi dana yang cukup. Dalam
kehidupan berumah tangga misalnya, wajar apabila anak dewasa marah, jika
mengetahui orangtuanya memiliki banyak utang dan tidak dikomunikasikan utang
itu buat apa. Tahukah anak tersebut kalau orangtua berhutang untuk membayar
biaya riset anaknya, misalnya? Nah, inilah yang mau kita Tarik dalam koridor
yang lebih kompleks dalam kehidupan bernegara.
Sadar APBN
Sadar
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan kuncinya. Mengapa? Pendiri
bangsa ini telah menetapkan dengan sangat jelas visi bangsa untuk menjadi
bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur dalam Pembukaan UUD 1945. Mewujudkan
cita-cita bangsa tersebut memerlukan dana yang tidak sedikit. Di dalam APBN
terdapat 3 unsur utama yaitu pendapatan negara, belanja dan pembiayaan.
Pembiayaan atau utang muncul apabila pendapatan negara tidak cukup untuk
membiayai belanja negara.
Dengan
kata lain, utang merupakan bagian kecil di dalam APBN yang digunakan untuk menutup defisit kas
negara. Hingga saat ini sudah lebih dari 180 negara di dunia berutang untuk
menutup defisit kas negaranya. APBN ini juga merupakan kesepakatan antara
pemerintah dan rakyat yang diwakili oleh DPR dan pelaksanaannya diawasi oleh
Badan Pemeriksa Keuangan.
Rasio Utang
Utang
harus dilihat menyeluruh dalam struktur APBN. Utang yang diambil pemerintah dipastikan
telah diputuskan secara matang, baik terkait kemampuan membayarnya dan juga
risikonya. Rasio utang
terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) diperkirakan sebesar 29,5% – 30,5% pada
periode tahun 2019 hingga 2022 dengan potensi pergerakan di kisaran
+4,0% untuk mengakomodasi shock. Pada
saat kondisi shock, rasio utang
terhadap PDB meningkat melebihi 30,0% sebagai akibat tekanan nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing. Bagaimana cara membaca angka tersebut?
Pada
tahun 2018 misalnya, secara nominal, utang Indonesia ada sejumlah Rp 4.418
triliun. Tentu angka tersebut tampak sangat besar. Tetapi jika dibandingkan
dengan PDB, sebagai refleksi penghasilan negara, sejumlah Rp 14.735 triliun,
maka rasio utang adalah 29,9%. Angka ini juga sama dalam range perkiraan rasio utang terhadap PDB tahun 2019 sampai 2022 yang berada di kisaran 29,5% -
30,5%. Apa arti angka ini? Berdasarkan UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, maka batas maksimum rasio utang terhadap PDB adalah 60%. Dengan artian
bahwa rasio utang saat ini masih jauh dari yang diperbolehkan oleh UU. Singkatnya,
utang Indonesia masih aman.
Pertanyaan
berikutnya adalah mampukah pemerintah membayar utang sebesar itu? Indonesia
belum pernah gagal membayar utangnya sejak era reformasi. Utang pemerintah dikelola
secara prudent untuk kesinambungan fiskal.
Jatuh tempo utang tersebut bervariasi dan tidak serentak dalam setahun. Konsep
ini yang perlu dipahami oleh masyarakat umum. Rata-rata jatuh tempo utang
Indonesia adalah 8 sampai 9 tahun. Kewajiban pelunasan utang masa depan
ditunjukkan oleh potensi menghasilkan pendapatan yaitu penerimaan perpajakan,
penerimaan negara bukan pajak dan penerimaan dari pemanfaatan aset.
Analisis
kemampuan pembayaran utang jangan dilihat hanya dari Sumber Daya Alam (SDA)
karena banyak negara yang tidak memiliki SDA namun tetap maju dan sejahtera
serta mampu bayar utangnya. Pertumbuhan ekonomi menjadi indikator lain yang lebih
tepat. Buktinya adalah pada tahun 2018, defisit anggaran adalah sebesar 1,76% dari
PDB, tetapi pertumbuhan ekonomi saat itu adalah 5,15%. Artinya adalah kapasitas
ekonomi pemerintah dalam membayar utang masih terjaga dengan baik. Sehingga tidak
heran jika pada tahun 2018, utang Indonesia yang jatuh tempo sebesar Rp 501,3
triliun dapat dibayar lunas tiada sisa.
Dalam
rangka pengelolaan risiko utang, pemerintah juga terus mengupayakan
pengeluaran utang dalam bentuk Surat Berharga Negara dalam mata uang rupiah
didukung dengan suku bunga tetap. Komposisi utang negara
akhir 2018 adalah 59% rupiah dan 41% valuta asing. Dengan demikian risiko terhadap pelemahan
nilai tukar dan perubahan suku bunga akan sangat kecil. Sehingga biaya pengelolaan
utang pun dapat ditekan.
Utang untuk Produktivitas
Pemanfaatan
alokasi utang Indonesia adalah hal yang perlu diperhatikan lebih jauh. Yang harus
dipastikan adalah bagaimana penggunaannya dapat mewujudkan kesejahteraan
masyarakat, sejalan dengan cita-cita bangsa. Utang yang ada diharapkan
merupakan suatu keputusan investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia, memperbaiki produktivitas dan daya saing Indonesia. Sehingga Indonesia
mampu mewariskan aset-aset produktif, baik yang berwujud maupun tidak berwujud,
yang bermanfaat bagi kemajuan bangsa. Kata kuncinya adalah pembangunan nasional
dilakukan pemerintah karena ingin masyarakat sejahtera.
Utang
sangat direkomendasikan digunakan untuk belanja produktif. Peningkatan
produktivitas dari utang akan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Dengan
demikian, karena pertumbuhan ekonomi yang baik maka utang yang meningkat dapat
segera dibayar sehingga tidak menjadi beban. Belanja produktif dimaksud adalah
seperti memberikan fasilitas pada sektor riil seperti Unit Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM), pembangunan infrastruktur sebagai wujud pemerataan pembangunan di
daerah, pendidikan dan sebagainya. Dengan pembangunan infrastruktur maka diharapkan akan mendorong
produktivitas yang lebih tinggi dari sebuah usaha, yang akan turut mendorong
investasi masuk.
Sebagai
contoh, pembangunan di tempat kami, di Nusa Tenggara Timur, sangat terasa
menggerakkan roda perekonomian daerah. Pengaspalan jalan raya sampai daerah
pelosok, pembangunan bendungan Raknamo, fasilitas telekomunikasi, pendidikan, transportasi,
fasilitas kesehatan menjadikan provinsi NTT lebih berdaya saing dan mengundang
investor masuk kesini. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi daerah semakin
meningkat.
Again, pada prinsipnya negara
sebenarnya tidak memiliki tujuan untuk berutang. Tetapi saat ini utang
diperlukan sebagai bagian kecil instrumen untuk membiayai belanja negara. Sehingga
pemerintah menjadi terpaksa berutang. Kenaikan utang saat ini juga digunakan
untuk membiayai belanja negara yang meningkat, yang juga ditetapkan dalam APBN
oleh rakyat melalui DPR dan pemerintah. Belanja negara ini-lah yang perlu
diawasi agar utang tersebut digunakan untuk belanja yang bersifat produktif.
Langkah
penting yang harus segera dieksekusi secara massif adalah “how to get society informed” terkait rasio utang Indonesia dan
pemanfaatannya, bukan sekedar informing
saja. Sadar APBN dan menginformasikan dengan lebih tepat dan komprehensif
terhadap setiap segmentasi masyarakat akan menggiring publik ke arah pemahaman
yang komprehensif terkait utang pemerintah. Bukan tanpa alasan mengingat beda
segmentasi, maka key message, channel komunikasi, komunikatornya, timing-nya pun harus diperhatikan saat delivery-nya.
Sebagai
penutup, APBN merupakan instrumen untuk mewujudkan masyarakat yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur, yang adalah cita-cita bangsa. Dengan
mengelola rasio utang dengan baik dan mengalokasikan utang tersebut untuk
belanja negara yang produktif, maka bukan tidak mungkin kesejahteraan
masyarakat yang merata akan segera terwujud.