Selasa, 31 Oktober 2017

Rasional Maraknya Korupsi di Indonesia

Image result for lawan korupsi
(source: KPK)

Sangat menarik menilik lebih jauh akar permasalahan penyebab terjadinya korupsi di Indonesia yang kian menjamur. Bukan tanpa alasan mengingat meskipun sudah dilaksanakan reformasi di badan pemerintahan, desentralisasi, bahkan sudah dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), korupsi berjamaah bahkan masih terus merambat. Pergantian rezim orde baru ke era yang lebih reformatif dan demokratif di tahun 1998 pun masih belum menunjukkan gereget signifikan. Bahkan tantangan baru pun bermunculan yaitu merambatnya korupsi ke sendi sendi pemerintahan baik pusat maupun daerah.

Tidak hanya di administrasi pemerintahan di Indonesia, korupsi juga menjamur di sektor perekonomian dan distribusi sumber daya. Apa yang salah? Ternyata, meskipun pembentukan KPK telah menorehkan prestasi dalam beberapa hal, tetapi kapasitas organisasi yang minim serta peraturan yang lemah menjadi bercampur dengan rendahnya kualitas peraturan yang ada yang bermuara pada suburnya praktik korupsi.

Berdasarkan Global Integrity Report (2011) ada 2 bentuk korupsi yang dikenal di Indonesia yaitu korupsi birokrasi dan grand corruption. Korupsi birokrasi terjadi akibat kapasitas administrasi sebuah negara yang masih tergolong lemah dan rendahnya penghasilan yang tidak memadai. Pada konteks artikel ini, bentuk korupsi birokrasi dan administratif menyebar pada semua sektor pelayanan publik dan agensi. Mencengangkan ketika mengetahui bahwa World Bank dan IFC Enterprise Survey menemukan bahwa hampir 15% perusahaan terkena dampak harus membayar suap kepada petugas pemerintah untuk memudahkan atau dikenal dengan "get things done". Ditambah lagi laporan Global Competitive Report yang mewawancarai 15,4% perusahaan pada tahun 2012 dan muncul dengan sebuah kesimpulan bahwa korupsi adalah permasalahan paling merugikan yang dapat mempengaruhi lingkungan bisnis Indonesia.

Institusi yang paling dipengaruhi oleh praktik korupsi berdasarkan Global Corruption Barometer (2010) adalah kepolisian, pengadilan, dan parlemen. Assesment ini ditujukan kepada masyarakat dan pebisnis. Tidak dapat dipungkiri bahwa kepolisian dan pengadilan menjadi sebuah tantangan besar untuk mencegah praktik korupsi jika institusi ini tetap digandrungi praktik korupsi. Bukan tanpa alasan mengingat mereka adalah instrumen untuk penegakan hukum dan menjamin keberadaan peraturan perundang-undangan di negara ini. Di samping itu, parlemen dan partai politik juga dikategorikan sebagai organisasi yang highly corrupt. Bahkan berdasarkan Transparency International (2011) organisasi ini dikategorikan sebagai extremely corrupt. Budaya closedoor meeting juga dapat menumbuhkan kesempatan untuk korupsi serta membatasi pers dan publik untuk memonitor. Lantas apa sebenarnya penyebab terjadinya korupsi ini?

Berdasarkan beberapa literatur, ada beberapa benang merah yang dapat diuraikan terkait mengapa ada korupsi. Tentu saja penyebab korupsi akan bervariasi di berbagai negara dan tergantung kepada kebijakan nasional, sejarah, tradisi birokrasi, dan kematangan pembangunan politik. Akademisi menunukkan adanya korelasi antara korupsi dengan variabel seperti rendahnya Gross Domestic Product, ketimpangan penghasilan dan ekonomi, inflasi, dan kompetisi tidak sehat. Tetapi arah korelasi antara korupsi dengan variabel tersebut tidak begitu jelas dan sulit untuk dipisah-pisahkan antara penyebab dan akibat dari korupsi pada setiap elemen. Ada juga konsensus yang menyatakan korupsi berkorelasi dengan serangkaian faktor struktural dan institusional seperti besarnya ukuran pemerintahan, bentuk dan tingkat desentralisasi, kualitas peraturan, adminitrasi pelayanan publik, dan hak politik dan sipil.

Fransisco Ramirez Tores juga memperkenalkan formula korupsi yaitu Reward (result) of corruption (Rc) > Penalty (Pty) x Probability of being caught (Prob). Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan kalkulasi (Crime of calculation). Seorang pejabat akan tergoda untuk korupsi jika hasil yang didapatkan dari korupsi lebih besar dari pada penalti atau hukuman yang didapat dan kemungkinan untuk tertangkap. Logikanya jika seorang pejabat bisa meraih keuntungan sebesar 1 Triliun rupiah dan menderita kerugian 200 Milyar untuk membayar suap pihak pihak lain untuk menutupi kegiatan tersebut maka logikanya dia akan menghalalkan jalan itu. Jadi, jika praktik korupsi masih menjamur, maka salah satu penyebabnya adalah adanya mata rantai yang menggerogoti suburnya korupsi yang mengikutsertakan pejabat teras serta pejabat daerah. Sebelum era KPK, kans untuk tertangkap itu sangat kecil dan pinalti yang dikenakan juga sangat kecil walaupun tertangkap. Hal tersebut tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat dari sebuah tindakan korupsi.

Di samping itu Klitgaard (1998) juga fokus pada analisis kesempatan korupsi berdasarkan persamaan bahwa korupsi sama dengan economic rents ditambah diskresi dikurangi akuntabilitas (C=R+D-A). Economic rents di konteks ini adalah regulasi pemerintah, sumber daya alam, aset negara. Dapat diartikan bahwa korupsi terjadi ketika economic rents ada, public officials dan para politikus memiliki diskresi dalam mengalokasikannya tetapi tidak disertai penegakan hukum yang kuat. Model ini dapat membantu mengetahui penyebab mengapa terjadi korupsi pada kasus individual.

Jika ditarik ke konteks di Indonesia dalam analisis tersebut, menarik bahwa meskipun sudah dilaksanakan berbagai reformasi institusi tetapi praktik korupsi masih menjadi persoalan besar. Ada beberap faktor yang menyebabkan yaitu faktor strutural yang meliputi jenjang penghasilan yang jomplang, ketimpangan antara si kaya dan si miskin yang kian melebar, serta judiciary yang sangat lemah.

Hal yang perlu dipelajari adalah mau tidak mau pemberantasan korupsi adalah tugas bersama. Untuk mencegah dan melawan korupsi akuntabilitas dan transparansi harus ditegakkan. Khusus untuk daerah, sangat penting agar masyarakat dan media serta komunitas lokal terlibat aktif terutama dalam pembuatan kebijakan, pembuatan keputusan, dan bagaimana dana daerah dibelanjakan. Terlebih lagi dalam melakukan aduan atau menjadi saksi. Ingat bahwa pemberantasan korupsi adalah tugas bersama. Sudah ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK, https://lpsk.go.id). Diam Bukan sebuah Pilihan mengingat LPSK akan pasti melindungi. So, melawan korupsi akan dapat dilakukan dengan usaha masif dan bersama. Kita bisa!

Rasio Utang Terkelola, Produktivitas Terwujud, Rakyat Sejahtera

Apa yang terlintas di benak anda ketika mendengar kata Utang?  Kecenderungan orang akan berpikir parsial dengan terarah ke negatif k...